Sejarah Lengkap Demokrasi Liberal di Indonesia - Guru Santai

Sejarah Lengkap Demokrasi Liberal di Indonesia

Demokrasi parlementer (liberal) di Indonesia - Demokrasi parlementer (liberal) di Indonesia adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi dari pada badan eksekutif. Demokrasi liberal adalah sistem politik yang mengutamakan partisipasi aktif dan kedaulatan rakyat, dengan menempatkan kalangan sipil sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan pemerintahan.



Demokrasi liberal mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi yang mencakup partisipasi rakyat, perlindungan hak-hak individu, dan pembagian kekuasaan antara badan legislatif dan eksekutif.

Ciri-ciri Demokrasi Liberal

  1. Adanya Kebebasan Individu
  2. Kekuasaan Pemerintah Terbatas
  3. Masyarakat Berpartisipasi Dalam Politik
  4. Periode Pemilu Dilaksanakan Pada Waktu Tertentu
  5. Suara Mayoritas Bisa Membentuk Hukum

Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer


Berikut ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer pada masa Demokrasi Liberal di Indonesia 
  1. Dipimpin oleh perdana menteri dan presiden atau raja yang berperan sebagai kepala negara. 
  2. Lembaga eksekutif dan presiden dipilih oleh lembaga legislatif. Sementara itu, jika dipimpin oleh raja, penentuannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan. 
  3. Perdana menteri memiliki hak prerogatif yang bisa mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya. 
  4. Para menteri bertanggung jawab terhadap lembaga legislatif, bukan kepada presiden. 
  5. Lembaga eksekutif bertanggung jawab kepada legislatif. 
  6. Lembaga legislatif dapat memberhentikan lembaga eksekutif. 
  7. Penguasa utama negara adalah parlemen.

Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia (1950-1959)


Sejarah demokrasi parlementer di Indonesia dapat ditelusuri sejak 1950, ketika Natsir terpilih sebagai perdana menteri, dengan menganut Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Masa demokrasi parlementer berlanjut hingga sembilan tahun kemudian. 

Berikut ini sejarah demokrasi parlementer di Indonesia sejak masa pemerintahan Kabinet Natsir hingga Kabinet Djuanda:

1. Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)


Kabinet Natsir memiliki koalisi Masyumi bersama Partai Nasional Indonesia. Pada awal pembentukan kabinet, PNI tidak dilibatkan. Hal tersebut yang menjadi penyebab partai yang didirikan Soekarno menjadi oposisi bersama PKI dan Murba.

Program Kerja Kabinet Natsir

Berikut adalah program kerja Kabinet Natsir :
  1. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
  2. Konsolidasi dan penyempurnaan pemerintahan
  3. Menyempurnakan organisasi angkatan perang
  4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan
  5. Memperjuangkan penyelesaian Irian Barat.

Prestasi Kabinet Natsir

Keberhasilan Kabinet Natsir dapat dilihat dalam bidang ekonomi dalam penerapan Sumitro Plan. Sumitro Plan berhasil mengubah perekonomian dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Indonesia berhasil masuk PBB untuk membahas masalah Irian Barat untuk pertama kalinya. Dalam hubungan luar negeri, Indonesia menetapkan prinsip bebas aktif dalam politik luar negerinya.

Kegagalan Kabinet Natsir

  1. Penerapan Sumitro Plan ternyata tidak berjalan maksimal. Hal ini karena penyelewengan bantuan yang diberikan, sehingga tidak mencapai sasaran.
  2. Terjadi Pemberontakan seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Aziz, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS.
  3. Kegagalan dalam perjuangan membebaskan Irian Barat

Tekanan semakin besar hingga Hadikusumo dari PNI menyatakan mosi tidak percaya sekitar pencabutan PP Nomor 39 Tahun 1950 tentang DPRS dan DPRDS yang diterima oleh parlemen sehingga Kabinet Natsir Jatuh pada tanggal 21 Maret 1951.

2. Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952)

 
Kabinet Sukiman terdiri dari dua koalisi partai yaitu Masyumi dan PNI. Kabinet Sukiman bertugas sejak 27 April 1951 hingga 3 April 1952.
Jatuhnya Kabinet Sukiman

Program Kerja Kabinet Sukiman

Fokus program kerja dari Kabinet Sukiman adalah keamanan negara dan ketertiban negara. Maka program kerja Kabinet Sukiman adalah sebagai berikut :

  1. Menjalankan secara tegas hukum negara untuk menjamin keamanan dan ketentraman, serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara.
  2. Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk mempertinggi sosial ekonomi rakyat, membaharui hukum agraria sesuai kepentingan petani, dan mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam lapangan pembangunan.
  3. Menyelesaikan persiapan pemilu untuk membentuk konstituante dan menyelenggarakan pemilu dalam waktu singkat.
  4. Mempercepat otonomi daerah.
  5. Menyiapkan undang-undang tentang Pengakuan Serikat Buruh dan Perjanjian Kerja Sama (collectieve arbeidsovereenkomst).
  6. Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk perdamaian, menyelenggarakan hubungan Indonesia-Belanda atas dasar Unite Statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional, mempercepat peninjauan kembali persetujuan KMB dan meniadakan perjanjian yang merugikan negara dan rakyat, serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia secepatnya.
  7. Meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan rakyat

Faktor jatuhnya Kabinet Sukiman diantaranya :

  1. Perbedaan pandangan antara Masyumi dan PNI terkait masalah Irian Barat. Masyumi menginginkan secara keras Irian Barat masuk dalam wilayah Indonesia, sedangkan PNI bersikap lunak dan bersedia melakukan perundingan dengan Belanda.
  2. Adanya politik luar negeri menolak bantuan asing oleh Kabinet Sukiman terkait adanya politik yang menolak keberpihakan dalam Perang Dingin. Namun, pada masa jabatan Kabinet Sukiman menerima bantuan dari Amerika Serikat pada Mutual Security Act (MSA) yang dianggap mengancam kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.
  3. Adanya perselisihan antar anggota kabinet serta adanya intervensi Soekarno dalam urusan kabinet.
  4. Dari permasalahan – permasalahan diatas, maka pada 3 April 1952, Kabinet Sukiman mengundurkan diri dari parlemen setelah mendapat mosi tidak percaya dari seluruh fraksi partai politik di parlemen.


3. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953) 


Pada masanya, Wilopo selaku perdana menteri berhasil mendapatkan mayoritas suara parlemen. Tugas pokok Wilopo ketika itu menjalankan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante. Akan tetapi, sebelum Pemilu dilaksanakan, Kabinet Wilopo gulung tikar.

Program Kerja Kabinet Wilopo

Kabinet Wilopo merumuskan enam program kerja. Program kerja yang diusung tidak jauh berbeda dengan program kerja pada kabinet sebelumnya. Berikut adalah program kerja dalam negeri Kabinet Wilopo :

  1. Menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante, DPR dan DPRD
  2. Meningkatkan kemakmuran rakyat
  3. Meningkatkan pendidikan rakyat
  4. Pemulihan stabilitas keamanan rakyat

Program kerja luar negeri Kabinet Wilopo meliputi :

  1. Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda
  2. Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia
  3. Menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif

Jatuhnya Kabinet Wilopo

Kabinet Wilopo berlangsung selama satu tahun. Selama masa pemerintahannya, Kabinet Wilopo mengalami beberapa permasalahan seperti :
  1. Gerakan separatisme dan kondisi ekonomi yang mengalami kemerosotan. 
  2. Kabinet Wilopo dianggap bersalah dalam penyelesaian masalah tanah perkebunandi Sumatera Utara (Peristiwa Tanjung Morawa).

Peristiwa Tanjung Morawa diawali dari tanah Deli Planters Vereeniging atau DVP yang telah ditinggalkan lama pemiliknya. Permasalahan yang terjadi adalah adanya petani ilegal yang menggarap tanah DVP tanpa izin. Akibatnya dilakukan pengerahan polisi untuk mengusir para petani. Peristiwa ini menimbulkan korban sebanyak lima orang. Pers dan parlemen bereaksi keras terhadap peristiwa ini. Hingga pada 2 Juni 1952, Wilopo resmi menyerahkan mandatnya kepada presiden.


4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955) 


Ali Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei 1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan diadakan pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955. Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar pada Juli 1955 dan digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya. 

Program Kerja Kabinet Ali Sastroamijoyo I

Berikut adalah program kerja Kabinet Ali Sastroamijoyo I

  1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran.
  2. Menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) dengan segera.
  3. Membebaskan Irian Barat secepatnya.
  4. Melaksanakan politik bebas-aktif.
  5. Meninjau kembali persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB).
  6. Menyelesaikan pertikaian politik.

Jatuhnya Kabinet Ali Sastroamijoyo I

Kabinet Ali Sastroamijoyo I mengembalikan mandatnya kepada presiden Soekarno pada tahun 1955 yang dipicu beberapa hal, diantaranya :
  1. Adanya konflik diantara partai pendukung yaitu PNI dan NU yang menyebabkan NU menarik dukungan dan menterinya dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I
  2. Adanya aksi separatisme DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh
  3. Konflik internal antara kabinet dan TNI-AD
  4. Banyaknya kasus korupsi dan inflasi yang memperburuk ekonomi


5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955- Maret 1956) 


Burhanuddin Harahap dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang sudah direncanakan tanpa mengubah waktu pelaksanaan. Pemilu 1955 berjalan relatif lancar dan disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis. Kendati begitu, masalah ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak disetujui oleh koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap bubar pada Maret 1956

Program Kerja Burhanuddin Harahap

Berikut adalah program kerja Burhanuddin Harahap :
  1. Menyelenggarakan Pemilihan Umum pertama pada 29 September 1955.
  2. Menyelesaikan masalah Irian Barat.
  3. Menanggulangi pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo
  4. Melaksanakan program pembangunan ekonomi dan sosial
Kejatuhan Kabinet Burhanuddin Harahap

Selama masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap, terdapat beberapa masalah yang mengakibatkan kejatuhan kabinet ini, yaitu :
  1. Perselisihan antar partai – partai koalisi terutama Masyumi dan PNI yang memiliki perbedaan ideologi, politik luar negeri dan hubungan dengan presiden
  2. Tuntutan dari daerah untuk mendapat otonomi yang lebih luas seperti Sumatera Utara, sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat.
  3. Usulan Soekarno untuk membentuk Dewan Nasional, yang nantinya menjadi lembaga tertinggi yang berwenang mengambil keputusan politik.
  4. Adanya gerakan mahasiswa untuk menuntut reformasi politik dan pemberantasan korupsi.
  5. Akibat dari permasalahan – permasalahan ini, maka pada 3 Maret 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri dan digantikan oleh Ali Sastroamidjojo sebagai formatur baru.

6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957) 


Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini, dari persoalan Irian Barat, otonomi daerah, nasib buruh, keuangan negara, dan sebagainya. Ali Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Kabinet ini pun mulai menuai kritik dan akhirnya bubar dalam setahun. 

Program Kerja Kabinet Ali Sastroamijoyo II

  1. Pembatalan seluruh perjanjian KMB secara sepihak
  2. Memperjuangkan masalah Irian Barat
  3. Memulihkan kondisi negara dari berbagai aspek
  4. Melaksanakan keputusan Konferensi Asia Afrika

Jatuhnya Kabinet Ali Sastroamijoyo II

Kejatuhan Kabinet Ali Sastroamijoyo II dikarenakan pecahnya koalisi antara PNI dan Masyumi, sehingga Masyumi menarik semua menterinya dari Kabinet Alisastroamijoyo II. Kegagalan ini membuat Kabinet Ali Sastroamijoyo II mengembalikan mandatnya ke presiden pada 9 April 1957 dan digantikan oleh Kabinet Djuanda.

7. Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959) 


Terdapat 5 program kerja utama yang dijalankan Djuanda Kartawijaya, yakni membentuk dewan, normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan. Salah satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda diterapkan. Kebijakan ini ternyata membuat negara-negara lain keberatan sehingga Indonesia harus melakukan perundingan terkait penyelesaiannya.

Di samping itu, ada banyak pemberontakan yang terjadi selama Djuanda menjabat perdana menteri, termasuk Tragedi Cikini, peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Soekarno.

Program Kerja Kabinet Djuanda

Setelah jatuhnya Kabinet Ali Sastroamijoyo II, Djuanda ditunjuk sebagai perdana menteri dan menjalankan program kerjanya. Berjalannya Kabinet Djuanda tidak mudah karena berada di tengah pergolakan Irian Barat hingga masalah ekonomi yang sangat buruk. Berikut ini adalah program kerja Kabinet Djuanda :
  1. Membentuk dewan nasional;
  2. Menormalisasi keadaan Republik Indonesia;
  3. Melancarkan pelaksanaan pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB);
  4. Memperjuangkan pengembalian Irian Jaya; Mempercepat proses pembangunan.

Keberhasilan Kabinet Djuanda

Salah satu keberhasilan yang diraih Kabinet Djuanda adalah disepakatinya Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini berisi tentang aturan batas perairan di Indonesia yang sebelumnya dinilai mengancam keamanan dalam negeri. 

Sebelum disepakati Deklarasi Djuanda batas teritorial Indonesia yang semula 3 mil menyebabkan adanya laut bebas yang memisahkan antar pulau. Dengan adanya Deklarasi Djuanda, Indonesia menyatakan perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan antar pulau adalah wilayah NKRI. Dengan demikian wilayah laut dan daratan NKRI menjadi satu kesatuan.

Selain itu Deklarasi Djuanda, terdapat beberapa keberhasilan dalam program kerja lain, seperti :

  1. Pembentukan dewan nasional dengan tujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan maupun kekuatan yang ada di masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Dewan nasional ini yang kemudian menjadi kekuatan utama dalam Demokrasi Terpimpin.
  2. Mengadakan musyawarah nasional (Munas) untuk mencegah pergolakan di daerah termasuk Irian Barat.

Kejatuhan Kabinet Djuanda

Kabinet Djuanda secara resmi berakhir setelah keluarnya Dekrit 5 Juli 1959 yang sekaligus mengawali masa Demokrasi Terpimpin. Terdapat beberapa penyebab keruntuhan Demokrasi Djuanda diantaranya :
  1. Banyaknya kepentingan antar golongan dan partai politik didalam pemerintahan.
  2. Banyaknya peristiwa politik yang menyebabkan ketidak konsistenan dalam berjalannya pemerintahan
  3. Kegagalan menghadapi pergolakan di daerah.
  4. Krisi ekonomi dan keuangan.

Akhir Demokrasi Liberal di Indonesia


Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Merujuk dekrit tersebut, Dewan Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias meninggalkan UUDS 1950. Selain itu, dibentuk juga Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

0 Response to "Sejarah Lengkap Demokrasi Liberal di Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel