Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia - Selepas Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia belum sepenuhnya diakui dunia. Jalur diplomasi menjadi jalan yang dipilih untuk menggalang pengakuan dunia di tengah ancaman militer Belanda yang berencana merebut kembali Indonesia dengan memanfaatkan Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II.
sejak 14 November 1945 terjadi sejumlah perubahan yang memunculkan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet II RI. Perubahan ini termasuk perubahan sistem pemerintahan dari presidensial ke bentuk ministerial ( parlementer) Sejak itu Pemerintah RI menempuh kebijakan politik diplomasi untuk berunding dengan Belanda.
Perundingan Hoge Veluwe
Perundingan pertama terjadi pada 17 November 1945 di markas besar tentara Sekutu di Jakarta. Perundingan ini berlanjut dengan pengiriman misi diplomatik pertama Indonesia ke Belanda yang dimulai pada 14 April 1946 di sebuah tempat bernama Hoge Veluwe. Misi tersebut menjadi salah satu awal rangkaian perundingan panjang antara Indonesia-Belanda.
Hasil dan Dampak Perundingan Linggarjati
Perundingan Linggarjati menghasilkan “Persetujuan Linggarjati” yang menyepakati kedaulatan RI. Persetujuan itu diparaf oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir (Ketua Delegasi RI) dan Prof Schermerhorn (Ketua Delegasi Belanda).
Hsil perundingan Linggarjati
- ditetapkannya status dan kedaulatan RI secara de facto atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera.
- Pihak RI dan Belanda setuju bentuk negara dengan pemerintahan federal bernama Negara Indonesia Serikat (NIS)
- dibentuknya perserikatan Indonesia-Belanda bernama Uni Indonesia-Belanda. Wilayah NIS disepakati meluputi wilayah bekas Hindia-Belanda.
Hasil dari Perundingan Linggarjati menjadi momentum penting pengakuan negara lain atas eksistensi Republik Indonesia.
Dampak perjanjian Linggarjati
- Belanda mengingkari perjanjian Linggarjati dan melaksanakan Agresi Militer Belanda 1
- Sementara itu, di Indonesia hampir semua kelompok menentang keras kebijakan PM Sjahrir sebagai pemimpin perundingan dengan Belanda dianggap merugikan Indonesia dan kemudian di gantikan oleh Amir Sjarifuddin
Agresi Militer Belanda 1
Agresi Militer Belanda I dikenal sebagai Operatie Product oleh Belanda adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan mulai hari ini di 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Agresi Militer Belanda I merupakan upaya Belanda untuk merebut wilayah Indonesia melalui serangan pasca disetujuinya Perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947.
Latar Belakang Agresi Militer Belanda I
Setelah Perjanjian Linggarjati disetujui Indonesia menganggap bahwa Indonesia berhak atas kedaulatan wilayah yang diakui. Disisi lain, Belanda tetap memegang teguh isi pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 yang berisi persemakmuran antara Belanda dan Hindia (Indonesia) dibawah naungan Kerajaan Belanda. Inilah yang merupakan latar belakang Agresi Militer Belanda I. Selain itu terdapat pula tiga tujuan Belanda melakukan Agresi Militer Belanda I, yaitu :
- Tujuan politik : menghilangkan negara Indonesia secara de facto dengan mengepung dan menguasai wilayah Indonesia serta menghapusnya dari peta dunia negara yang merdeka.
- Tujuan ekonomi : merebut daerah yang memiliki potensi ekonomi seperti daerah penghasil pangan, produk ekspor, dan tambang.
- Tujuan militer : menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai basis pertahanan Indonesia.
Agresi Militer Belanda I dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook yang bertujuan memulihkan ekonomi Belanda pasca Perang Dunia II dengan menguasai kekayaan alam dari Indonesia. Belanda memiliki tafsiran tersendiri terhadap Perjanjian Linggarjati yang digunakan dasar melakukan serangan kepada Indonesia.
akhirnya Dewan Keamanan PBB memutuskan bahwa Agresi Militer Belanda I harus segera diselesaikan. Belanda akhirnya menyadari bahwa pihaknya harus menaati PBB agar tidak terkena sanksi. Maka, per tanggal 5 Agustus 1947, Belanda menghentikan Agresi Militer Belanda I melalui perundingan.
Dampak Agresi Militer Belanda 1
Pendudukan wilayah Indonesia mendapat kecaman dari dunia internasional termasuk Amerika Serikat dan Inggris. Negara tersebut khawatir akan imbas dari kekacauan politik, militer dan ekonomi.
Komisi Tiga Negara ( KTN)
Agresi Militer Belanda I memaksa Indonesia meminta bantuan internasional. Dewan Keamanan PBB menengahi dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) atau Good Offices Committee (GOC). Indonesia menunjuk Australia sebagai perwakilan, Belanda menunjuk Belgia, dan Amerika Serikat ditunjuk oleh Indonesia dan Belanda. Pada 26 Oktober 1947 KTN datang ke Indonesia untuk mengatasi sengketa Indonesia-Belanda.
Setelah kedatangan KTN di Indonesia, Amerika Serikat mempertemukan Indonesia dan Belanda pada 8 Desember 1947 di kapal perang USS Renville yang berlabuh di Jakarta
Hasil dan Dampak Perjanjian Renville
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di Jakarta.
Isi perjanjian Renville
Perundingan di atas kapal perang Renville menghasilkan sejumlah kesepakatan, antara lain,
- Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah RI;
- Indonesia dan Belanda menyetujui sebuah garis yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda;
- serta TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Pada 17 Januari 1948 Perdana Menteri Amir Sjarifuddin menandatangani naskah perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Renville.
Dampak Perjanjian Renville
- Hasil Perjanjian Renville menyulut kemarahan besar di kalangan republik terutama militer.
- Wilayah Republik Indonesia semakin sempit
- Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dari Kabinet
- Agresi Militer Belanda 2
Agresi Militer Belanda 2
Pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan serangan ke bandar udara Maguwo, Yogyakarta. Belanda menyatakan tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Serangan terhadap seluruh wilayah RI di Jawa, Sumatera, dan Ibukota Yogyakarta ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II (19–20 Desember 1948).
Dampak Agresi Militer Belanda 2
- Di buatnya Resolusi PBB, menyerukan penghentian pertempuran dan mendesak Belanda untuk memulai perundingan dan menyerahkan kedaulatan kepada RI.
- Didirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
- Diadakannya perundingan Roem Royen
Perundingan Roem Royen
Roem-Royen diambil dari nama masing-masing delegasi Mohammad Roem dari Indonesia dan Herman van Roijen (Royen) dari Belanda. Pertemuan ini berlangsung selama satu bulan sejak 14 April 1948 hingga penandatanganan pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Perundingan menghasilkan kesepakatan antara lain
- pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta,
- pasukan Belanda ditarik dari Yogyakarta, dan
- Konferensi Meja Bundar diusulkan di Den Haag, Belanda.
Konferensi Inter Indonesia
Perundingan intensif terjadi antara Indonesia dan Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). Pembentukan BFO diprakarsai oleh Ide Anak Agung Gde Agung pada Juli 1948 yang bertujuan ikut mencari jalan keluar penyelesaian konflik antara Indonesia-Belanda.
Pertemuan ini merupakan wadah untuk menyatakan pendapat dan membuat kesepakatan bersama di internal RI sebelum KMB. Salah satu kesepakatan yang dihasilkan, antara lain, untuk bersatu mendirikan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Berbekal keputusan-keputusan KII, delegasi BFO dengan pimpinan Sultan Hamid II, dan delegasi RI dengan pimpinan Mohammad Hatta berangkat ke Den Haag untuk menghadiri KMB. Selain delegasi Belanda, juga hadir anggota UNCI (United Nations Commission for Indonesia) sebuah komisi PBB untuk Indonesia yang dibentuk menggantikan KTN.
Konferensi Meja Bundar (KMB)
Konferensi Meja Bundar (KMB) menjadi tonggak sejarah kemerdekaan Indonesia. Konferensi Meja Bundar yang digelar di Den Haag, Belanda menjadi upaya diplomasi yang akhirnya berhasil membebaskan Indonesia dari Belanda.
Dikutip dari biografi Mohammad Roem: Karier Politik dan Perjuangan, 1924-1968 (2002), Konferensi Meja Bundar bertujuan menyelesaikan sengketa Indonesia dan Belanda seadil dan secepat mungkin.
Indonesia ingin jalan dan cara penyerahan kedaulatan yang sungguh, penuh, dan tidak bersyarat kepada Negara Indonesia Serikat (NIS) sesuai dengan pokok-pokok persetujuan Renville
Hasil dan dampak Konferensi Meja Bundar
Setelah melalui pembahasan yang berlarut-larut, pada 2 Nobember 1949 tercapailah persetujuan Konferensi Meja Bundar. Hasil KMB yakni:
- Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir Desember 1949.
- Dibentuk Uni Indonesia-Belanda. Dalam uni itu, Indonesia dan Belanda akan bekerja sama.
- Kedudukan Indonesia dan Belanda sederajat.
- Indonesia akan mengembalikan semua milik Belanda dan memabayar utang-utang Hindia Belanda sebelum tahun 1949.
- Masalah Irian Barat akan dibahas satu tahun kemudian.
Dampak KMB Bagi Indonesia
Indonesia akhirnya mendapat kedaulatannya. Acara penyerahan kedaulatan berlangsung pada 27 Desember 1949.
Penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia dilaksanakan pada 27 Desember 1949 di Istana Dam, di Amsterdam, Belanda. Dalam upacara itu, ditandatangani tiga dokumen oleh Ratu Juliana dan Perdana Menteri Mohammad Hatta. Dokumen itu berisi, antara lain, pernyataan menerima seluruh hasil KMB dan Piagam Penyerahan Kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat
0 Response to "Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia "
Post a Comment